Ketika ajaran, iman, atau agama yang dianut dipertanyakan
kebenarannya, orang terguncang hidupnya atau cepat marah. Iman atau
agama telah membuat ketergantungan psikologis. Ketergantungan ini bisa
sedemikian membutakan, sehingga orang tidak lagi dapat melihat realitas
apa adanya.
Kalau ketergantungan psikologis tersebut dipatahkan, orang akan
menemukan ketidaktenangan , kegelisahan, dan ketidakpastian. Yang
tersisa hanyalah kesepian dan kekosongan yang luar biasa. Bukankah
inilah realitas hidup kita yang sesungguhnya, yang cenderung kita
hindari, dan tertutupi oleh ajaran-ajaran suci?
Iman atau agama sering kali dijadikan tempat pelarian, karena
kebanyakan dari kita memiliki batin yang dangkal. Kita enggan menerima
realitas kesepian dan kekosongan. Ketakutan mendorong kita lari kepada
konsep ideal tentang Tuhan, iman, harapan, cinta, kebahagiaan,
kebenaran, doa, dan meditasi. Konsep-konsep itu kemudian membelenggu
batin dan memiliki daya pengaruh seperti kekuatan hipnotis yang membius
dan menumpulkan. Betapa dalam batin kita diperbudak konsep-konsep itu.
Tidak heran, orang mudah terprovokasi melakukan hal-hal bodoh atas nama
Tuhan atau kebenaran.
Kelekatan yang paling memuaskan adalah Tuhan. Padahal, bagaimana
mungkin Tuhan yang Mahasuci bisa dilekati oleh batin yang masih
terbelenggu oleh ketergantungan psikologis? Lagi pula, dengan beriman
atau beragama, kita tetap tidak bisa lolos dari kesepian, kekosongan,
ketidakpastian, kegelisahan, dan seterusnya. Iman atau agama justru bisa
menjadi tirai pembatas untuk memahami realitas apa adanya. Bisakah kita
memandang secara total realitas hidup kita tanpa otoritas apa pun?
Iman dan realitas adalah dua hal yang berbeda. Iman bekerja masih
dalam lingkup pikiran, sedangkan realitas yang sesungguhnya bergerak di
luar lingkup pikiran. Batin yang berani keluar dari belenggu otoritas
iman atau agama, mungkin akan menemukan kembali iman sejati atau agama
sejati. Batin yang menemukan iman sejati atau agama sejati tidak lagi
disibukkan dengan rumusan ajaran, tetapi sepenuhnya hidup bersama
realitas.
Iman atau agama yang sejati tidak mungkin terlahir selama bangunan
iman atau agama yang lama tidak diruntuhkan sepenuhnya. Ketika otoritas
iman atau agama yang lama berakhir, mungkin kita dapat memahami Tuhan
atau Realitas yang Terakhir.
Hal ini hanya bisa dialami di luar waktu, di luar pikiran, dan di
luar gambaran-gambar an. Realitas yang Terakhir ditemukan pada saat
sekarang, bukan ingatan masa lampau atau proyeksi masa depan.
Meski hanya singkat, perjumpaan dengan Realitas yang Terakhir itu
membuka cara pandang yang sungguh baru dalam melihat, mendengar,
berelasi, berbicara, bertindak, bekerja, dan menjalani kehidupan.
Sumber
Iman, Pikiran dan Realitas
Written By Kabar Riau on Monday, April 8, 2013 | 7:31 PM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here , or subscribe to receive more great content just like it.
0 comments :
Post a Comment